Radiasi terutama radiasi nuklir menjadi istilah yang sangat menakutkan bagi masyarakat awam. Terlebih dengan terjadinya kecelakaan pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Fukushima, Jepang akibat gempa yang disertai dengan gelombang tsunami sesudahnya. Ketakutan semakin bertambah dengan adanya asumsi bahwa tidak ada dosis radiasi yang aman bagi manusia. Sayangnya, pemahaman masyarakat awam mengenai dampak radiasi umumnya berdasarkan asumsi tersebut. Hal tersebut tentu tidak sepenuhnya benar terutama dalam konteks radiasi pengion dosis rendah (didefinisikan sebagai dosis < 100 mSv). Penduduk Dusun Tande-Tande di Mamuju, Sulawesi Barat contohnya. Penduduk didaerah ini diketahui menerima pajanan radiasi pengion dosis rendah semenjak lahir dan seumur hidupnya. Rerata dosis penerimaan tahunan pada penduduk Mamuju adalah sebesar 32 mSv pertahun. Sebagai gambaran penduduk diseluruh dunia diperkirakan menerima pajanan radiasi pengion 2,4 mSv setiap tahunnya. Oleh karena itu Mamuju dikategorikan sebagai daerah radiasi latar tinggi alamiah (high natural background radiation area) di Indonesia.

Menariknya meski menerima pajanan dosis radiasi pengion yang jauh melebihi rerata dunia tidak ditemukan peningkatan kerusakan DNA, kromosom, antioksidan dan sitokin inflamasi pada penduduk Dusun Tande-Tande. Informasi tersebut disampaikan oleh Dwi Ramadhani, M.Si.Med saat memaparkan disertasinya yang berjudul “Mekanisme Molekuler Respons Adaptasi Terhadap Pajanan Kronis Radiasi Latar Tinggi Penduduk Mamuju: Tinjauan Jalur Inflamasi dan Stres Oksidatif”, dalam promosi doktor yang diadakan oleh Program Doktor Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada, Selasa (17/1).

Penelitian case-control oleh Dwi Ramadhani, M.Si.Med melibatkan 57 orang penduduk Dusun Tande-Tande sebagai kelompok kasus dan 53 orang penduduk Desa Topoyo sebagai kelompok kontrol. Dalam penelitiannya, Dwi Ramadhani yang juga merupakan seorang periset di Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (ORTN-BRIN) menganalisis berbagai indikator atau penanda biologis (biomarker) antara lain kerusakan untai ganda DNA, kerusakan kromosom, konsentrasi sitokin baik pro maupun anti-inflamasi, aktivitas dan konsentrasi enzim antioksidan,

“Hasil penelitian memperlihatkan bahwa respon adaptasi ditemukan pada penduduk Dusun Tande-Tande, Mamuju”, ujar Dwi Ramadhani. Dari analisis sitogenetik dengan teknik mironukleus (MN) diketahui bahwa penduduk Dusun Tande-Tande berpeluang hingga sebesar 1,76 kali untuk memiliki jumlah MN yang rendah yaitu kurang dari 13 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sebagai tambahan tingkat kerusakan kromosom dari darah penduduk Dusun Tande-Tande yang diradiasi secara in vitro lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan tingkat kerusakan kromosom pada kelompok kontrol.

Pada akhir presentasinya Dwi Ramadhani menjelaskan bahwa berbagai biomarker yang dianalisis pada penduduk Dusun Tande-Tande tidak menunjukkan peningkatan meskipun terpajan oleh radiasi pengion dosis rendah secara kronis. Hal tersebut membuktikan bahwa konsep “Linear No-Threshold” pada pajanan radiasi pengion perlu dikaji kembali. Secara lebih lanjut analisis yang digunakan untuk membuktikan respon adaptasi pada penduduk Dusun Tande-Tande dapat berguna dalam mendeteksi tingkat sensitivitas individu terhadap radiasi (diterminologikan sebagai radiosensitivitas). Diharapkan analisis tersebut dapat digunakan secara klinis untuk mendeteksi radiosensitivitas individu pada pasien kanker yang menerima pengobatan radioterapi. Pendeteksian radiosensitivitas pada pasien radioterapi diharapkan dapat menghindari timbulnya efek merugikan pada jaringan normal akibat pajanan radiasi pada pasien.

Sidang promosi doktor Dwi Ramadhani, M.Si.Med diketuai oleh Dekan FKUI Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB., dengan promotor Prof. Dr. rer. physiol. Septelia Inawati Wanandi, dan Dr. Drs. Heri Wibowo, M. Biomed beserta Prof. Dr. Mukh Syaifudin, selaku ko-promotor. Tim penguji dalam sidang tersebut diketuai oleh Dr. dr. Arie Munandar, Sp.Onk Rad dari Departemen Radioterapi, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)., dengan anggota Dr. Dwi Anita Suryandari, M.Biomed. dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Dr. Supriyanto Ardjo Prawiro dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia.; dan Prof. Dr. Tri Indah Winarni, MD, PhD  dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Radiation, especially nuclear radiation, is a very frightening term for ordinary people. Especially with the accident at the Nuclear Power Plant (PLTN) in Fukushima, Japan due to the earthquake which was accompanied by a tsunami wave afterward. Fears are heightened by the assumption that there is no safe dose of radiation for humans. Unfortunately, the general public’s understanding of the effects of radiation is generally based on this assumption. This is of course not entirely true, especially in the context of low doses of ionizing radiation (defined as doses <100 mSv). Residents of Tande-Tande hamlet in Mamuju, West Sulawesi, for example. Residents of this area are known to receive low-dose ionizing radiation exposure from birth and throughout their lives. The average annual intake dose in Mamuju residents is 32 mSv per year. As an illustration, the population worldwide is estimated to receive ionizing radiation exposure of 2.4 mSv each year. Therefore Mamuju is categorized as a high natural background radiation area in Indonesia.

Interestingly, despite receiving exposure to ionizing radiation doses far exceeding the world average, no increase in damage to DNA, chromosomes, antioxidants, and inflammatory cytokines was found in the residents of Tande-Tande Hamlet. This information was conveyed by Dwi Ramadhani, M.Sc.Med when presenting his dissertation entitled “Molecular Mechanisms of Adaptation Responses to Chronic Exposure to High Background Radiation in Mamuju Population: Overview of Inflammatory Pathways and Oxidative Stress”, in a doctoral promotion held by the Doctoral Program in Biomedical Sciences, Faculty of Medicine, University of Indonesia (FKUI) on Tuesday (17/1).

A case-control study by Dwi Ramadhani, M.Sc.Med involved 57 residents of Tande-Tande Hamlet as the case group and 53 residents of Topoyo Village as the control group. In his research, Dwi Ramadhani who is also a researcher at the Nuclear Energy Research Organization, National Research and Innovation Agency (ORTN-BRIN) analyzed various indicators or biological markers (biomarkers), including DNA double-strand damage, damage chromosomes, cytokine concentrations both pro and anti-inflammatory, activity and concentration of antioxidant enzymes,

“The results of the study show that adaptation responses are found in residents of Tande-Tande Hamlet, Mamuju,” said Dwi Ramadhani. From cytogenetic analysis using the micronucleus (MN) technique, it is known that residents of Tande-Tande Hamlet have a 1.76 times chance of having a low number of MN, which is less than 13 compared to the control group. In addition, the level of chromosomal damage from the blood of Tande-Tande residents irradiated in vitro was significantly lower than the level of chromosomal damage in the control group.

At the end of his presentation, Dwi Ramadhani explained that the various biomarkers analyzed in the residents of Tande-Tande Hamlet did not show an increase despite chronic exposure to low doses of ionizing radiation. This proves that the “Linear No-Threshold” in ionizing radiation exposure needs to be reviewed. Furthermore, the analysis used to prove the adaptive response of the residents of Tande-Tande Hamlet can be useful in detecting the level of individual sensitivity to radiation (terminated as radiosensitivity). It is hoped that this analysis can be used clinically to detect individual radiosensitivity in cancer patients receiving radiotherapy treatment. Radiosensitivity detection in radiotherapy patients is expected to avoid adverse effects on normal tissue due to radiation exposure in patients.

The Dwi Ramadhani, M.Sc.The Dean of FKUI Prof. Dr. dr chaired the med doctoral promotion session. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB., with promoter Prof. Dr. err. Physiol. Septelia Inawati Wanandi, and Dr. Drs. Heri Wibowo, M. Biomed and Prof. Dr. Mukh Syaifudin, as co-promoter. The examiner team in the trial was chaired by Dr. dr. Arie Munandar, Sp.Onk Rad from the Department of Radiotherapy, Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM)., with members Dr. Dwi Anita Suryandari, M.Biomed. from the Faculty of Medicine, University of Indonesia; Dr. Supriyanto Ardjo Prawiro from the Faculty of Mathematics and Natural Sciences (MIPA) at the University of Indonesia; and Prof. Dr. Tri Indah Winarni, MD, Ph.D. from the Faculty of Medicine, Diponegoro University.

Ready to Help You